Minggu, 26 Januari 2014

Mendustai Hujan

Toriq Fahmi

disimak dari tirai serupa kabut
bedanya pada partikel yang jatuh lebih besar dan basah
Odong-odong melawan hujan

nah, mari menerjemah kenapa odong-odong sanggup mendusta
sementar anak- anak terlalu polos
mengerti hujan
musiknya lucu bersahutan dengan gemericik
entah apa di pikiranya?
sesuap nasi katanya
seolah ia tak peduli anak orang diintai bahaya

kesanggupan itu berupa tekat
bagaimana ia menyerah
sementara nasib di bibirnya antusias meminta Tuhan

Surabaya 2014

Selasa, 07 Januari 2014

Hilangnya Kota

Toriq Fahmi

Hujan siang tadi
Gemerciknya begitu munafik
Orang-orang di jalan kalang kabut
"Munafik, Munafik" teriakanya dibawa berteduh
Di emperan toko
Halaman-halaman masjid
Di warung-warung kopi
Mereka tutupi kemunafikan
Ada yang menolak dengan jas hujanya
Lalu diterjangnya hujan

Sekelebat hujan murka
Tak terima dikatai munafik
Semakin lebat, kota itu seperti kabut
"Siapa yang lebih munafik sekarang?" Katanya
Siang tadi kota hilang

2014

Selasa, 24 Desember 2013

SEMANGKUK BAKSO DARIMU

Toriq Fahmi

Ini semangkuk bakso, katamu
Makanlah, aku sedang asam lambung
Bola baksonya ada empat
Tahu mentah satu dengan mi kuning kriting
Beginilah sajian bakso favoridku
Sebab aku tak pernah suka dengan Bihun
Terlalu lurus dan bening
Munafik menurutku

Lihat Mi kriting kuningnya selalu asing bagi bakso
Bagaimana ia akan akur
Lihatlah ia sangat pandai menghindar
Liar menurutku, ia selalu berliku

Tapi cepat makanlah
Akan ku tunjukkan bagaimana ia bersatu
Habiskan, setelah itu tidurlah
Keajaiban akan terjadi di perutmu
Esok ketika kau terbangun
Segera keluarkan dan lihatlah
Kesatuan mereka yang begitu mesrah
Begitulah kita nantinya

Surabaya 2013

BAYANGAN GADIS

Toriq Fahmi

Gadis berkulit langsap
Sedang aku menguranya berkulit abu-abu
Rambutnya tentu saja hitam
Tapi aku mengurainya berrambut pirang
Matanya ku bayangkan menyala
Di antara gelap gulita kau mirib srigala
Gerak-gerikku menjadi lamban
Hati-hati, kau sedang mengintai

Surabaya 2013

Senin, 23 Desember 2013

KESATRIA

Toriq Fahmi

Anakku lahir
Pada malam hujan bulan desember
Matanya pelolong seperti bakso
Merah hitam, mengerikan
Seperti gagak kematian

Sejak dikandungan ibunya
Perut ibunya menyala merah
Seperti disenter dari dalam
Tapi ia begitu tenang

Tak ada kecurigaan
Ibunya menyagka ia normal
Rupanya ia up normal

Ia lahir begitu tenang
Tak ada tangis, malah ibunya yang menangis
Ibunya bertanya-tanya seperti orang gila
Katanya melahirkan itu sakit
Rupanya seperti tak ada yang terjadi

Melihat anaknya yang tampan
Matanya pelolong seperti bakso
Pupilnya merah, retinanya hitam
Ibunya tambah mengis, haru
Dipeluk lalu diciuminya ia
“Anakku bisa menerawang masa depan”
Rupanya ia anak dalam ramalan

Surabaya 2013

Kamis, 05 Desember 2013

HARAKIRI

Toriq Fahmi

Pencapaianku sebelum perang, belajar memanah kijang, aku selalu diajak berburu kekek, dilereng gunung yang katanya rimba dan angker, tapi kakek bilang kesatria tak pernah takut setan, lalu bagaimana dengan binatang buas kek?, kakek bilang manusia lebih buas dari seekor jaguar, akhirnya aku pulang membawa seekor srigala.

Aku sudah berani berperang sekarang, setelah berminggu-minggu aku memakan daging srigala, kakek yang memanggangnya untukku, akhirnya aku jago berlari, terikanku panjang dan keras, seorang komandan harus seperti itu, kata kakek, larilah dan teriaklah sekeras mungkin beri komando untuk penyerangan, begitu pesanya. Setelah itu kakek mati dikursi

Aku pergi berperang, membawa senapan peniggalan kakek, aku bergabung dengan plajurit militer, kita disuruh berteriak serempak “merdeka” sampai berkali-kali, aku tak pernah tahu apa maksutnya, sebab kakek tak pernah mengajarkan padaku, aku hanya dilatih membidik, gesit, sembunyi dan berteriak “serang” seperti perburuan dulu, apa maksutnya, kenapa kakek tak ajarkan itu, bukankah ia mantan plajurit perang juga, tentu sama apa yang diajarkan dulu dan sekarang.

Di medan perang, aku meyandang pangkat komandan, tapi aku tak pernah teriak “merdeka”, Aku komadokan pasukanku hanya dengan kata “serang” seperti ajaran kakek, pasukanku tak terkalahkan, terbukti tak ada satupun korban, aku teriak lagi “serang”, pasukaku kebal peluru, menerjang apapun, kita tak pernah kalah.

perang usai, orang-orang teriak “merdeka”, di jalan, sawah, tokoh, di atas gedung-gedung bertingkat semua teriak “merdeka”, ada apa dengan “merdeka”, apa dengan merdeka perang telah usai, lalu aku akan kerja apa, dampak kemerdekaan telah menjadikan kematian, aku dan plajuritku pengngangguran, “merdeka” kita serempak berteriak melepaskan tembekan di dada sebelah kanan, tepat di organ liver.

Surabaya 2013

METER TERAKHIR

Toriq Fahmi

Aku belajar naik sepeda, rodanya masih dipasang empat, dua hari kemudian ayah mencopotnya satu, sampai seminggu aku bersepeda roda 3, lalu ayah mencopotnya lagi, ini bagian paling sulit tapi aku tak kawatir sebab ayah memegangi dari blakang, 1 bulan aku belajar naik sepeda ditemani ayah, sampai akhirnya aku mampu mengayuh sepeda, tapi sayang saat memulainya ayah harus memeganginya. Senagnya bukan main bisa bersepeda.

Ibu menyuruhku mengantar roti ke rumah nenek, padahal belum bisa bersepeda sepenuhnya, taka apa katanya, biar ibu memeganginya, ayo naiklah, aku naik, lalu kukayuh dan ibu melepaskanya, aku menuju rumah nenek, jaraknya sekitar 2 KM, senagnya bisa membantu ibu. Di jalan aku bersimpangan dengan truk, aku berhati-hati mengatur keseimbangan, takut jika turun dan tidak bisa memulainya lagi, aku berhasil, ini rintangan pertama.

Di jembatan penghubung antara desa ibu dan desa nenek, ku lihat kawanku ramai memancing, mereka menyapaku, aku cuek sebab takut turun sepeda dan tak bisa memulainya lagi, malu jika meminta bantuan, aku dikatai sombong sebab sudah bisa bersepeda dan tak mau menyapa, tak apa besok disekolah aku pasang alasan, aku tidak mendengar dan tidak melihatnya, ini rintangan kedua.
Sampai di desa nenek, tinggal beberapa kilo lagi, kukayuh sepedaku pelan sebab jalanya bergelombang takut jatuh dan tak bisa memulainya, takut jika meminta bantuan orang, ada kubangan besar bekas genangan air hujan semalam, keseimbanganku goyah, jika kukayuh pelan tentu aku jatuh, jika kukayuh cepat pasti air itu akan muncrat dan takut mengotori orang lewat, aku tidak bisa menghindar sebab jaraknya begitu dekat, tanpa pikir panjang kukayuh cepat, dan “crat”, air genangan muncrat untung tak ada orang lewat. Rintangan ke tiga lewat.

Rumah nenek sudah dekat tinggal beberapa meter lagi, kukayuh pelan dan mengngatur nafas, capek menempuh jarak rumah ibu ke rumah nenek dengan sepeda, aku mengatur keseimbangan agar tak turun sebab tak bisa memulainya lagi, ayo rumah nenek sudah dekat, mencoba menyemangati diri. “Tit-Tit” bel speda motor dari belakang, aku kaget, aku turun dari sepeda, sial, bagaimana ini, bagaimana aku harus memulainya aku tak berani minta bantuan orang, padahal tinggal beberapa meter lagi, aku coba memulainya sendiri, orang-orang memandangiku, malu menjadi taruhan, sangat malu jika aku gagal, 1..2..3..yah spedaku oleng tapi aku bisa mengimbanginya, yah akhirnya aku bisa bersepeda dengan sempurna.

Surabaya 2013