Toriq Fahmi
Pencapaianku sebelum perang, belajar
memanah kijang, aku selalu diajak berburu kekek, dilereng gunung yang katanya
rimba dan angker, tapi kakek bilang kesatria tak pernah takut setan, lalu
bagaimana dengan binatang buas kek?, kakek bilang manusia lebih buas dari
seekor jaguar, akhirnya aku pulang membawa seekor srigala.
Aku sudah berani berperang sekarang,
setelah berminggu-minggu aku memakan daging srigala, kakek yang memanggangnya
untukku, akhirnya aku jago berlari, terikanku panjang dan keras, seorang komandan
harus seperti itu, kata kakek, larilah dan teriaklah sekeras mungkin beri
komando untuk penyerangan, begitu pesanya. Setelah itu kakek mati dikursi
Aku pergi berperang, membawa senapan
peniggalan kakek, aku bergabung dengan plajurit militer, kita disuruh berteriak
serempak “merdeka” sampai berkali-kali, aku tak pernah tahu apa maksutnya,
sebab kakek tak pernah mengajarkan padaku, aku hanya dilatih membidik, gesit,
sembunyi dan berteriak “serang” seperti perburuan dulu, apa maksutnya, kenapa
kakek tak ajarkan itu, bukankah ia mantan plajurit perang juga, tentu sama apa
yang diajarkan dulu dan sekarang.
Di medan perang, aku meyandang pangkat
komandan, tapi aku tak pernah teriak “merdeka”, Aku komadokan pasukanku hanya
dengan kata “serang” seperti ajaran kakek, pasukanku tak terkalahkan, terbukti
tak ada satupun korban, aku teriak lagi “serang”, pasukaku kebal peluru,
menerjang apapun, kita tak pernah kalah.
perang usai, orang-orang teriak
“merdeka”, di jalan, sawah, tokoh, di atas gedung-gedung bertingkat semua
teriak “merdeka”, ada apa dengan “merdeka”, apa dengan merdeka perang telah
usai, lalu aku akan kerja apa, dampak kemerdekaan telah menjadikan kematian,
aku dan plajuritku pengngangguran, “merdeka” kita serempak berteriak melepaskan
tembekan di dada sebelah kanan, tepat di organ liver.
Surabaya 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar