Selasa, 19 Maret 2013

Antara Rusuk dan Rusuk


“Cintai aku seperti kau mencintai kekasihmu dan sayangilah aku seperti kau menyayangi pacarmu, dengan ini maka bulat sudah keinginanku bahwa hari-hariku akan semakin rumit dan kacau, aku suka pada keadaan demikian sebab pada waktu itu aku akan berselingkuh dengan gerimis melahirkan mata-mata rindu dengan sangat romantis”.
Aku sudah lama mati sama seperti lampu kamarmu yang kau matikan ketika menjelang tidurmu. Pada waktu ku yang mati saat matamu sudah mulai mati aku hidup kembali, menjadi kamu, kamu dengan wajah gelap seperti kamarmu yang gelap, bertubuh senyap seperti kamarmu yang senyap. Sesunguhnya ini aku menjelma kamu agar kau tahu bahwa aku adalah kamu walau memang  jasat tubuhmu bukan milikku, aku yang menjadi kamu melihat wajah mu dan mencoba memahami bibirmu yang tenag dan matamu yang terpejam kau sedang bermimpi apa dan dengan siapa.? Apa aku hidup dalam tidurmu atau jangan-jangan kau sedang bersama laki-laki itu, membuat hidup yang baru dengan dunia baru  yang kau beri nama seperti nama laki-lakimu itu, duniamu denganya yang keindahanya tak bisa aku temui di dunia ini.

Aku masih sebagai kamu, menjelma kamu dengan rasa yang telah lama mati mengusap lembut rambutmu mencoba memahami setiap helainya, inilah waktumu yang akan kau habiskan, tapi entah dengan siapa? Apa aku hidup dalam anganmu atau jangan-jangan aku hanya menjadi sepucuk surat yang mengatarkan rindumu pada kekasihmu, manjadikanku kata-kata penantian yang paling kau tunggu massa pertemuannya, kau tulis dan kau lipat dengan harapan bahwa hidupmu memang untuknya.

Aku masih menjelma kamu, memeluk erat tubuhmu, menciumi wajahmu, lehermu dan merasakan aroma nafas tubuhmu meraba-raba tubuhmu yang terbungkus baju tidurmu, maaf pelan-pelan aku mulai membuka bajumu, maaf aku tidak bermaksut apa-apa hanya saja aku ingin tahu apakah salah satu tulang rusukmu sama dengan tulang rusukku.?  Satu persatu aku meraba rusuk mu dengan halus dan menyamakan dengan rusuk ku, tidak ada sayang, lebih tepatnya tidak jelas karena terbungkus kulitmu yang halus, aku tak tega jika aku harus melukaimu dengan pisau hanya karena ingin tau apakah rusuk mu sama denagnku. Ahh..sudahlah tidurlah yang lelap besok saja jika aku sudah benar-benar  buakan sebagai kamu.

Aku yang sebagai kamu walau belum tahu apa rusukku sama denganmu, menikmati  sisa waktu ku yang sebagai kamu sebelum kau terbangun dari mimpimu dengan rasa nyaman dan tentaram walau aku tak pernah tau mimpimu seperti apa dan bersama siapa.

Aku yang sebagai kamu walau belum tahu apa rusukmu sama denganku, menikmati  sisa waktuku yang sebagai kamu  degan rasa halus dan lembut sampai kutemukan agan-aganmu yang sebenarnya  sebelum setiap helai rambutmu memutih.

Aku adalah kamu walau belum kutemukan kebenaran dari rusukmu dan rusukku, menikmati sisa waktuku yang sepertinya adalah kamu dengan rasa puas dan nikmat sebelum esok kau menjumpai tubuhmu telah telanjang dada dan kau merasa harus keramas dan bersuci sebab menikmati persengamaan tadi malam.


Toriq fahmi
Surabaya, 200313.3:08 Am


Senin, 18 Maret 2013

KEBENARAN DALAM PUISI

Oleh: Toriq Fahmi

"Puisi lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan sejarah" Plato
Puisi, bagi banyak orang adalah kearifan dalam tindak tutur yang melahirkan keinginan secara trasparan. Cinta, keadilan, sosial, alam dan juga budaya telah mendifinisikan sebuah puisi sebagai do’a para dewa yang ada pada diri setiap manusia sehingga disebut sebagai sebuah kebenaran. Puisi adalah kejujuran, sebuah do’a yang sebenarnya, do’a bukan berarti bagaimana seseorang itu meminta dan bersukur tapi do’a yang sebenarnya adalah bagaimana seseorang  bisa mengeluarkan hal-hal yang paling intim dalam dirinya. Dalam tahap ini maka lahirlah ungkapan puitis yang tidak disadari sebab sebuah imajinasi adalah ungkapan perasaan itu sendiri, tanpa merasa manusia tidaklah mampu berfikir apa-apa, perasaan dan imajinasi adalah sebuah ikatan yang tidak bisa dipisahkan. imajinasi tanpa perasaan adalah kosong, perasaan tanpa imajinasi adalah bisu.
Jika digambarkan secara konsep ketuhanan maka akan menghubungkan pada tingkatan “Manunggaling Kawula Gusti” milik Syekh Siti Jenar sebuah Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah “Tunggal”. Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah = pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Tuhan adalah bentuk ada dari perasaan dan pikiran itu sendiri sebab menurut ilmu tasawuf  tuhan telah mencelupkan diri pada setiap manusia (tuhan lebih dekat dari pada urat nadi) dan tuhan adalah maha benar dan besar karena itu subuah puisi yang lahir merupakan adaptasi dari sifat ketuhanan. Semakin dalam perasaan maka semakin tidak sadar seseorang mengungkapkan dan berbuat sesuatu, dalam artian sebagai berikut “penyair yang sesunguhnya adalah kitika seseorang mengerti perasaan sebuah tisu yang dibuang ke tong sampah”, walaupun tisu hanya sebuah kertas yang tidak memiliki perasaan dan pemikiran. Sangat dalam sekali, inilah yang kemudia di sebut oleh Vici C.Coulter bahwa penyair adalah orang-orang yang menyerupai dewa-dewa atau seseorang yang sangat dekat dengan dewa.
Dari sini kemudian puisi menjadi alat untama penyampaian perasaan cinta terhadap sesuatu yang melahirkan Kalil Gibran ke dunia sebagai sang pencinta sejati, Jaluddin Rumi sebagai penyair sufi yang fenomenal ataupun Rabi’ah yang selama hidupnya tidak menikah Karena ia telah jatuh cinta pada Tuhan-nya sendiri, sepanjang hidupnya hanya untuk Tuhan-nya bahkan setelah kematianya ia lebih memilih untuk hidup di sisi tuhan sebagai istrinya daripada harus hidup di surga.
“Tuhanku. Tenggelamkan diriku ke dalam lautan. Keikhlasan mencintai-M. Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku. Selain berdzikir kepada-Mu”(Rabi’ah)
Dalam konteks ini kebenaran dalam puisi adalah sebuah tindakan, puisi dikatakan benar ketika ungkapanya itu telah menjadi pengerak bagi dirinya sendiri, logikanya jujur dan benar bisa nampak ketika sudah bergerak, —mana mungkin bisa dikatakan jujur jika hanya berbicara tanpa melakukan. Kemudian, barulah bisa dikatakan bahwa puisi merupakan ungkapan perasaan atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Penyatuan antara jiwa dan raga, jiwa yang bersifat spiritual yang kemudian mengerakkan raga untuk bertutur dan bertindak dari sinilah keutuhan dan kesatuan itu diperoleh.
Lalu dalam kebenaran puisi itu sendiri Tuhan telah mewahyukan surat As-syu’ara (para penyair) kepada utusanya Muhammad dan menciptakan kontradiksi dengan mengutuk seorang penyair “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?. kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (Q.S. al-Syu’ara’ : 224-227).
Sama sekali tidak menyalahkan Tuhan ketika Tuhan dengan sangat baik menyebut bahwa penyair adalah orang yang suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakanya, juga bisa di sebut seorang penyair. Padahal syair itu sendiri adalah sebuah kebenaran yang berada pada sisi spiritual manusia. Jika sudah demikin maka harus ada pembeda antar penyair dan syairnya, yang benar adalah syairnya tetapi ketika syair itu hanya sekedar ungkapan tanpa laku maka gelar penyairnya harus di copot sebut saja hanya sebuah omong kosong (gombal) atau lebih kasarnya jangan sebut itu sebuah syair/puisi jika hanya alat untuk mengelabui, maka dari sinilah Al-Quran sangat mutlak kebenaranya bahwa orang-orang seperti itu (sok penyair) hanya diikuti oleh orang-orang yang sesat karena sudah menyalahgunakan istilah penyair dan syair.
Dan lebih khususnya adalah puisi cinta yang memainkan manifestasi seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk sosial, seseorang senantiasa berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya. Sementara itu nilai-nilai spiritual itu kian hari kian tergerus oleh peradaban modern yang lebih berorientasi pada materialisme dan hedonisme. Di mana orang berlomba-lomba berhasrat dan berusaha apa saja agar memperoleh “kepemilikan benda tertentu” dan mengejar kesenangan sesaat.
Dari hal inilah kemudian bermunculan penyair-penyair palsu yang melahirkan sajak-sajak palsu yang mengatas namakan kebenaran dalam puisi tetapi hanya sebatas kata-kata indah tanpa didasari kebenaran dalam tindakanya, puisi bisa menjadi sebuah kebanggaan jika sudah mengasilkan materi dan penghargaan atau sebuah pengakuan dengan diterbitkanya di media-media massa jika sudah demikian masih pantaskah disebuat puisi  lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan sejarah? Padahal puisi yang sebenarnya adalah do’a.
Surabaya 02.03.2013.5:46 AM

Seberapa Besar Perasaanmu Pada Ibumu?

Oleh : Toriq Fahmi


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Ibu, sebuah nama yang sakral dan memiliki ruang tersendiri dalam bentuk cinta, kasih dan sayang. Semua akan merangkap menjadi suatu ungakapan rasa yang tak pernah dimengerti manusia. Kedudukannya mengalahkan apapun di dunia ini bahkan Tuhan pun berserah pada seorang ibu.Surga ada di telapak kaki ibu”. Ya, Tuhan menyerahkan surga pada seorang ibu. Itu berarti ibu memiliki bentuk ketuhanan tersendiri dalam perasaan manusia.

Apakah ibu berhak mendapatkan cinta seperti cinta seseorang kepada kekasihnya atau mendapatkan cinta layaknya cinta kepada Tuhan? Tidak. Karena perasaan itulah disebut sebagai sumber dari segala perasaan. Ketika aku mencintai ibu maka aku akan mencintai Tuhan. Ketika aku mencintai ibu maka aku mencintai wanita atau laki-laki, semuanya terlahir dari situ karena tuhan telah menaruh jari-jarinya pada wanita yang bernama ibu.

Sebuah pertanyaan besar akan datang ketika berbicara tentang cinta ibu, tak perlu susah payah menjawab pertanyaan “apa yang sudah kau perbuat terhadap ibumu?” karna sampai kapanpun seorang anak tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap ibunya, semua tidak akan pernah terbalaskan. tetapi yang perlu dipertanyakan adalah “seberapa besar perasaanmu pada ibumu?”,hatilah yang akan berbicara dalam bahasanya dengan berbagai macam bentuk entah itu puisi, lukisan, bingkisan atau hal-hal yang mengesankan yang membuat sosok ibu akan tertegun dengan tetes airmata haru dan bangga.

Begitu juga yang dirasakan oleh setiap penyair yang memiliki kedalam jiwa terhadap hal apapun yang dilihatnya bahkan benda mati sekalipun, karena itu puisi adalah kejujuran dan kebenaran sebuah perasaan. Benar kata Plato, “puisi lebih mendekati kebenaran dibandingakan dengan sejarah”. Karena itu kekuatan puisi itu tergantung pada kedalam perasaan seorang penyair kepada objek yang dituju, seperti halnya Zawawi Imron sebelum membacakan karyanya yang berjudul “Ibu” dia sempat mengatakan “jika saya membaca puisi ini tidak bagus maka saya adalah zawawi tetapi jika saya membaca puisi dengan bagus maka saya adalah anak ibu”. Di sinilah ketentuannya, kekuatan dan ketajaman dari puisi yang ditulis tergantung pada kedalaman perasaan yang dirasakan penyair terhadap ibunya.

Menulis puisi telah lama menjadi termometer cinta, kasih dan sayang bagi setiap penyair, jika penyair menuliskan puisi ibu maka perasaan terhadap ibunya akan dikuras habis, jika puisi yang ditulis terkesan monoton berarti begitulah perasaannya terhadap ibunya begitu juga sebaliknya. Maka permainkan perasaan dengan sehalus mungkin, ungkapkan rasa cinta itu ke dalam jiwa baru yang akan membangkitkan gairah dalam sebuah kehidupan penuh cinta seorang ibu.