Kamis, 10 Mei 2012

BAYANGAN


I
Tamaram lampu kota menerangi wajah jalanan yang tampak kusam
Lalu-lalang kendaraan bising memecah malam dalam kodratnya yang bisu
Tubuh itu tampak gagah dari pantulan cahaya membentuk bayangan di muka aspal
Rambutnya panjang tergurai angin, sangat menawan seperti artis yang sering nongol dilayar tv

II
Bayangan itu masih berkendara menyusuri tugu panjang bertuliskan :
“Cinta bagi Pecinta”

Bayangan itu menoleh kanan dan kiri seperti sedang bingung mencari tempat singgah untuk tuangkan secangkir kerinduan tanpa kekasih
Tasik yang gelap bersorak girang sembari mengolok-olok:
“Dia datang sendiri, bukankah tepianku hanya untuk berpasangan”

Rumput, eceng gondok dan semua yang hidup di tepi tasik itu mengutuk; terbahak bersahutan
“Air menjadi malu”
III

Bayangan itu tampak tenang duduk di atas beton pembatas jalan, di sisi secangkir kopi setia membagi waktu dan menawarkan temannya untuk rela menjadi kekasih walau sejenak

Bayangan itu menyulutnya, mengulumnya, dan menghisap sedalam-dalamnya; mulutnya dilumat asap kehampaan

Bayangan itu  mengamati keadaan, di sekelilingnya ada dua bayangan yang tiba-tiba menjadi satu; apa itu?
“Sosok cinta,” kata kerikil di depannya, ia menggidik penuh iri

Bayangan itu masih tampak tenang dengan kesetiaan asap yang mengulum bibirnya, sesekali bibir cangkir turut melumatnya dan membagi manis isinya

Bayangan itu masih menuggu waktu untuk kabulkan permintaan sederhana:
 ”Adakah yang akan membelai rambutku?”
Riuh gemuruh pepohonan; seketika itu angin berhembus, rambutnya pun terbelai mesra

Ah, hanya angin

IV
Lampu padam:
“bayangan hilang”

Tak ada bayangan untuk selanjutnya ia marah ditelan kecewa pada sang majikan, memang sejak lalu bayangannya mengharap kematian

Sang majikan bingung mencari sosok indah dirinya di tanah; gegabah seperti orang yang kehilangan sesuatu yang berharga

Hening, hanya suara kecipak berkecemuk hasil dari benturan benda lunak, tubuhnya merinding menggigil dan mengais tanah mencari-cari bayangannya sendiri

“Ngggggg” getaran di saku membentur panik ; ingat pada sesuatu, tangannya merogoh saku celana sebelah kanan: dengan cepat handphone serupa remote control itu digenggamnya, sekilas cahaya remang handphone mengusik bunyi-bunyi kecipak di sampingnya; ada pesan:
  
“Aku pulang dulu, esok aku kembali setelah kau selesaikan sajak cinta yang membuat aku jatuh cinta.”  

Toriq fahmi
Surabaya.110512

Rabu, 09 Mei 2012

SEHELAI DAUN


1.
Helai daun gugur menerpa wajah tanah yang basah
lembabnya terasa meresap pada ujung tangkainya 
Tubuhnya kering
Wajahnya layu.


2.
Hembusan angin yang berdendang merdu menyerupai ketukan Dol pembangkit arwah; menawarkan kehidupan kembali 

bunyi-bunyi yang memanggil berarah dari tepi barat yang menebarkan sejuk di penghulu waktu antara siang dan malam; paginya berpijar cerah, sorenya menyapa ramah


3.
Terbanglah ia hingga larut pada etalase yang melambai mesrah menawarkan laut dan pasirnya juga bukit dan pohonnya; semuanya hinggap pada langit jingga purnama

4.
Ajaib menjelma di serat kering yang layu, semuanya menghijau; 
daunpun kembali pada tangkainya

mulailah berlalu-lalang bersama angin yang menari lembut sembari bersanendung riuh seperti tiupan Serunai pemanggil hujan; rinainya mulai bernyanyi dengan gemercik air yang menetes dari dahan ke tanah

5.
"hingga di penghujung masa"

1.
Helai daun gugur menerpa wajah tanah yang basah
lembabnya terasa meresap pada ujung tangkainya
Tubuhnya kering
Wajahnya layu


Torik fahmi
bengkulu,050512


SAJAK 1/3 PERJALANAN



1/KRETA TUA
Jerit kereta tua menelan tubuh rel yang telah renta
Awaknya menyimpan perjalanan puluhan tahun lamanya
Warnanya yang telah usang ramah menyapa tanah
Kreta tua itu masih berlari membawa impian di masa yang akan datang

2/PEDAGANG ASONG
“Kehidupan dalam gerbong yang melaju secepat kereta itu meluncur, memeras wajah-wajah tua akan senandung kehidupan hari berikutnya, tak kenal waktu terang atau petang ia terus berlari mengikuti laju kreta yang kian lelah, waktunya habis dimakan suara-suara miris menjajakan makanannya. Terbeli dan tidak adalah nasib yang harus ditumpu di atas telapak tanganya”

Begitulah sajakku mengalir tentang mereka, mencoba sesayu mungkin tapi kesayuanya masih saja terutup rasa angkuh yang aku dirikan di atas sandal gunung seharga 40ribuan. aku menatap lekat pada lekuk otot kriput tangan dan wajahnya, lesu dan sayu membuatku bergidik ingin memberi, sedang uang saku pemberian ibuku hanya cukup untuk hidup seminggu, sesekali aku meregoh sakuku ada selembaran 2ribu aku sempatkan membeli tahu dan kebetulan aku lapar waktu itu.

“Miris melihat nenek tua dan laki-laki bisu menawarkan jualanya, sayang aku tak bisa berbuat banyak ketika aku meneggok dompetku yang isinya hanya 10rbu”

Lalu-lalang para pengasong terus menghujamiku dengan sajak-sajak pilu, aku terdiam; lalu aku lempar sajak-sajak itu keluar dari jendela gerbong seolah angin yang berhembus masuk mengiyakan perbuatanku hingga tak seberapa lama ia berhasil menidurkanku dan menarikku kedalam mimpi; mimpi tentang laba-laba yang menganyam rumahnya dengan teliti dan rapi sembari bekerja ia mengagetkanku dengan suara tua tertatih:

“akupun mampu membayangkan sajak yang kau tumpahkan meloncati jendela gerbong menganga meriuhkan atap sebab angin berhembus lancang. Mungkin akupun akan lebih pilu bila Tuhan pada waktu itu mengizinkan aku 'tuk menemui menjadi saksi dari cerita sajak yang kau lempar tadi”

3/JALANAN
Perjalananku tidak begitu panjang hanya melewati daratan dan lautan tapi lekuk jalanan cukup untuk mengocok-ngocok perutku. Aku mual di atas kendaraan yang membawaku ketepian , namun sejuta keajaiban menarikku pada dunia baru yang belum pernah aku temui sebelumnya.

sajakku mengalir deras:

Di selembar daun aku kabarkan  tentang  tanah dan air yang aku lihat sejak hari masih dini, Yang dimana tubuhnya terguyur  oleh ombak di pesisir-pesisir pasir dan tebing , Ia menari di cela-cela cahaya yang hampir meredup, mendendangkan nyayian di waktu subuh dan senja
Aku ingin bercerita , kepada siapa saja tentang negeri yang aku jejaki hingga di penghujung malam nanti. Aku ingin tungkan semuanya, kepada siapa saja “ini ada secangkir nirwana”
Namun tak ada siapa-siapa, hanya ada pohon, jalan, batu, tanah, air, tebing , gunung dan bangunan tua.

Aku sajikan pertanyaan:

1/ Aku bertanya pada senja yang hampir terkikis “akankah semua sirna?”
Pertanyaanku melengkung di sela-sela reranting pohon tua yang kering
Aku menganguk walau semu.

2/ Aku bertanya pada fajar yang mulai menyingsing di ufuk timur “apakah semua akan binasa?”
Pertanyaanku lurus membentur dinding rumah tua peninggalan belanda
Aku menganguk dalam bisu.


Toriq Fahmi
surabaya, jakarta, bengkulu. 5,4,6.05.12