Selasa, 26 Maret 2013

RAHASIA SENI

Bukan bagaimana aku cemburu yang melahirkan kisah cantik tentang seorang memimpi ulung yang tak pernah tertidur saat malam telah begitu tua dan akan segera mati, tapi beginilah cara waktu bekerja untuk sosok yang tak pernah malu pada siapapun sebab baginya ini adalah jalanya, jalan bagaimana ia akan berfikir dewasa, menentang pekatnya malam dengan ribuan sajak yang ditulis dengan cara sembarang. Aku cemburu pada sang pelukis, aku cemburu padang sang interprener yang menatapmu dengan cara yang benar dan sempurna, walau belum ku temukan kebenaranya apakah dia benar-benar tulus memujamu.


Ia melukis untukmu dengan cara hati yang benar-benar serius, meniggalkan masa kecilnya yang usang dan menciptakan mimpinya dengan cara yang sunguh-sunguh sampai pada waktu yang menjemputnya untuk hidup penuh istimewa, membuat waktu sendiri dimana hidupnya adalah seni, seni yang mengantarkan pada dunia bermata mahal, sebagai kehidupan baru yang lebih dewasa dan benar-benar bisa dikatakan kehidupan yang sesungguhnya, ia mengatur jiwanya dengan cara seni yang sudah matang dan terjual, semuanya untukmu bahan seni yang nyata baginya. 

Bermula dari seni, ia kirimkan seni untukmu, seni paling mulus yang menjual jiwanya untukmu, menjatuhkan purnama-purnama yang telah using baginya, menjumpaimu dengan cara seni, mendekatimu dengan cara seni, bembuat cinta untukmu dengan cara seni, menyentuh dan menciummu dengan cara seni yang paling mahal dan takkan pernah terjual, kau terjatuh dengan kesenian menjemputnya dengan cara seni pula walau masih tertatih menerjemahkanya, ikut tertawan dan menyediakan tempat untuk melukis dalam jiwamu, menghidupimu dengan jaji seni yang paling agung, kau telah bahagia dengan cara seni, seni yang indah, seni yang menawan, seni yang massaallah dan seni yang telah merubahmu begitu cantik sebab dia telah ribuan kali melukismu di lagit-langit, di dinding kamarnya di setiap jemarinya yang pandai mengores wajahmu sudah bertatokan namamu pula, mau apalagi bahkan pada setiap hidupnya sudah penuh oleh lukisan wajahmu. Diam-diam telah ku tawar lukisan itu dengan harga seniku yang paling mahal tapi tetap saja tak mampu ku belinya dan seniku masih terkesan murahan dan taklaku baginya sebab ia tau seniku takkan mampu menghidupimu dengan cara seni  seperti seni miliknya, sebab itulah kau begitu cantik baginya apalagi untukku.

Ini seniku mengambarkan kecemburuan pada sang pemilik seni sejati karena sudah mampu menciptakan seni paling mahal dalam hidupnya itulah kamu, bagai mana aku akan bicara tentang kamu sedang seni-seniku masih dikonsumsi dengan cara gratis, berserak dimana-mana seperti surat cinta yang tak pernah sampai pada kekasihnya, bahan lelucon bagi pemilik seni sejati, sepertinya ini seniku, seni yang paling murah yang tak laku di pasaran, siapa yang akan membelinya, aku menuggu 24 jam lamanya tak ada yang mendatanginya bahkan meliriknya saja tidak, akhirnya terpaksa aku obral 500 rupiah dapat tiga, sesekali seseorang melirik tapi terus berlalu dan pada waktu yang sudah begitu larut seorang wanita datang membelinya dengan harga 500 rupiah itupun masih menawar untuk mendapat bonus 1, katanya untuk oleh-oleh anaknya, ya terpaksa aku memberinya sebab sudah 3 hari seniku tak laku-laku. begitu murahnya seniku ini tentu saja takakan ada harganya jika harus membeli lukisan wajahmu yang dilukisnya.

Aku mencoba cara baru supaya seniku patut untuk ditukar oleh seni miliknya yang bertemakan kamu, dengan cara cemburu yang paling menyiksaku, aku buat seni ini dengan hururuf-huruf seperti tetesan gerimis yang romantis, setiap katanya mencoba menerjemahkan betapa sendunya lagit sebab sudah sekian waktu hanya bisa memandang wajah tanah tanpa bisa menyentuh apalagi mencium keningnya, aku rasakan berlahan, mengoreskan seni dengan cara paling susah yang pernah aku buat sebelumnya, perlahat otakku mulai berantakan, mana yang harus aku sambungkan antara warna merah dan putih, kuning dan hitam supaya berpadu dan melahirkan keindahan bagi siapa saja, otakku semakin kacau saat merangkai bunyi mana yang pas untuk lirik yang halus dan keras, sesekali aku merenug membayangkan betapa mahalnya seniku ini jika sudah mampu ditukar oleh lukisan wajahmu walau hanya dengan lukisan siluet wajahmu yang bagiku itu lukisan paling jelek yang pernah ia buat untukmu, aku tersenyum betapa bahagianya aku memeluk lukisan siluit wajahmu, betapa gahagianya aku saat lukisan siluet wajahmu itu menempel di dinding kamarku, aku bisa mandangnya sebelum tidur yang biyasanya aku tak pernah bersemangat untuk tidur karena masih tekun dengan seniku yang tak laku-laku.

Seniku dengan rasa paling cemburu yang pernah aku miliki, masih tercecer di meja warung kopi yang tak pernah tidur, seniku masih belum usai dalam peroses penyaringan supaya terasa halus dan lembut, seniku masih mencari jasat kapan akan bersatu, seniku masih mencari rumah kapan akan diantarkanya pulang. Aku sudah gila setengah mati walau seniku ini belum selesai ku bikin, apa lagi yang harus kumasukkan ke dalam seniku ini, apa darahku sendiri harus ikut serta mewarnai, apa aku sendiri yang harus masuk dalam seni karyaku ini supaya terlihat hidup, jika dengan hal itu mampu menarik harga jual yang tinggi dan mampu ditukar dengan lukisan wajahmu tentu saja aku tak mau sebab bagaimana aku akan memiliki lukisan wajahmu jika aku sendiri telah masuk dalam karya seniku, tidak mungkin dan memang tidak boleh sebab ini seni tuhan yang sepandai-pandai ia dalam berseni takkan mampu menciptakan kenyataan seni seperti tubuhku ini.

Seniku telah jadi, yang terbuat dari bahan cemburu paling menyedihkan yang pernah ada, ini aku kirim lewat email untuk di lelang di negeri seni tempat seniman bertahan hidup dan kaya termasuk seniman yang telah melukis wajahmu dengan sempurna, aku tunggu konfirmasi beberapa hari ini tapi tak kunjung datang  sampai kemanapun aku menjumpai aktivitas yang padat seperti biyasa, HPku tak pernah lepas dari gengaman berharap ada kabar tentang seniku yang  sudah aku kirim tiga hari yang lalu, aku tak akan tidur sebelum nasib seniku berkabar, apa sudah terjual atau masih terdampar tak berguna seperti sampah di pantai negeri seni. Aku sangat kawatir bagaimana nasib seniku yang sudah aku sisipkan separuh hidupku padanya supaya terlihat hidup dan mampu memangil siapa saja yang lewat. Malam-malam satu persatu telah usai dengan rasa gelap dan pahit seperti kopi yang bersahaja menahan mataku supaya tetap tegar, namun belum ada kabar tentang seniku.

Senin hari aku termenug sendiri, masih menuggu kabar tentang seniku yang ku buat dengan bahan  cemburu yang sudah ku sisipkan separuh jiwaku di sana supaya nampak hidup dan bisa memangil siapa saja yang lewat.

Selasa sore aku mencoba menerjemahkan lagi apa ada arti yang salah dalam seni yang kubuat dengan bahan cemburu yang aku kirim ke negeri senja, tidak ada yang kurang, semunya sempurna sama persis seperti yang ku inginkan.

Rabo dini hari, aku jatuh sakit terkolek lemah di kasur kamarku yang penuh gambar pulau karena rasa asin dari peluhku, mungkin ini efek dari kekawatirkanku pada seniku yang aku kirim ke negeri seni beberapa minggu yang lalu tapi belum menemukan kejelasan.

Kamis waktu senja, aku berkelana menikmati suasana romantisnya langit pada bumi, laut dan pepohonan, sambil membayangkan andai seniku sama seperti senja itu pasti sangat mahal dan mampu ditukar dengan lukisan wajahmu bahkan denganmu yang asli.

Jum’at seusai khotbah, aku berdo’a supaya seniku bisa kembali dengan selamat walau tak ada yang berminat membelinya biarkan saja aku sendiri yang menikmati karya seniku ini yang sudah aku sisipkan seperuh jiwaku.

Saptu malam hujan sangat lebat, aku berdiam diri mendekam di kasur yang sudah bersih, sambil mendengarkan lagi-lagu hujan yang membuat aku teringat pada seniku yang aku kirim ke negeri senja, kasiahan sekali seniku memangil-magil namaku ingin pulang.

Minggu saat semua rumah sepi ditinggal tuanya pergi, aku masih sama mendekap guling dan merasakan semua begitu senyap serasa semunya mati sampai aku tertidur dan bermimpi bertemu seniku di alam lain yang begitu gelap tapi seniku bemberi cahaya seperti kilatan petir yang membuat aku terbangun. Aku bergetar ketakutan apa yang terjadi apa seniku terbuang di negeri seni dan tidak diakui sebagai karya seni atau apa sudah berjumpa dengan pembelinya dengan bayaran murah yang hanya cukup untuk membayar uang pajak pemasangan iklanya di media-media. Jujur aku sangat takut kemana kamu pergi seniku yang ku buat dengan bahan cemburu  yang menghabiskan air sumber dari endapan luka yang sudah lima tahun aku rawat dengan sengaja supaya aku bisa melahirkan seni paling mengetarkan esok hari nanti. Aku bingung setengah mati dan hari ini aku putuskan untuk menjemputmu ke negeri seni dan berjanji akan menemukanmu lagi dan merombaknya ulang penuh penghayatan dan pemikiran supaya tidak disepelekan lagi.

Aku berangkat sore kearah senja yang memang di sanalah negeri seni bersemayam, dengan do’a supaya tidak terjadi hujan sebab jika hujan datang tentu aku akan kehilangan arah  dan tersesat. Jika malam tiba arah menuju negeri senja adalah seperti bintang berbentuk cancer, aku lalui malam dengan pikiranku yang tak pernah lepas bagai mana nasib seniku yang berbahan cemburu itu, apa dia sedang sakit atau jangan-jangan sudah mati, Tidak mungkin sebab jika ia mati tentu aku akan merasa separuh hidupku juga mati sebab separuh jiwaku sudah aku sisipkan pada seniku. “Ah sudahlah” aku menepis kekawatiranku dan mencoba berfikir nolmal seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku bertemu pagi di petigaan mentari yang cahayang adalah kesejukan bagi semua pejalan, aku putuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon berigin yang sudah mulai menua karena daunya sangat jarang, aku menikmati belaian embut yang bersenandung dengan rumput yang menyayikan lagu selamat pagi yang tak pernah bosan di dengar para petani yang menyandang cangkul ke sawah dan gadis-gadis sma yang begitu bersemangat menuggu kekasihnya untuk berangkat ke sekolah, aku terbawa suasana sampai aku hanyut pada masaku dulu pada masa aku masih sebagai laki-laki lugu dan manis yang belum tau membuat seni dan berjuang hidup untuk seni, sebab pada waktu itu tanpa seni aku sudah bisa menikmatimu dengan nyata, bukan dengan lukisan apalagi siluet lukisan wajahmu. Aku benar-benar memilikimu, merangkulmu, menciummu, menikmuati aroma nafasmu, keringatmu dengan nyata dan begitu terang tanpa harus menciptakan seni yang harus terjual terlebih dahulu.

Betapa bahagiyanya aku waktu itu,ah sudahlah itu adalah tisu kumal seperti bekas hujan yang menyisakan genagan. Ya itu adalah rangkuman pelajaran, aku semakin resah dan tak karuan seperti orang gila yang berbicara sendiri dan pada waktu yang sama aku di sadarkan  oleh lubang besar di tubuh pohon beringin tua aku memandangnya menelusuri lubangnya dan meronggohnya aku kaget ketika taganku menyentuh benda halus berbulu yang rasanya sangat dingin tapi serasa nyaman sekali, apa ini.? Aku mengambilnya dan mengeluarkanya dari lubang besar itu, mataku terbelalak tak percaya inilah yang aku cari selama ini aku memandang tak percaya apa yang sudah aku pegang ini bahan seni yang di wasiatkan nenek moyang seni terdahulu. Ya inilah bahanya, permata seni yang sesunguhnya sebuah Sejarah dan Kenagan yang harus di bawa pada karya seni yang akan datang yang akan menciptakan kehidupanku pada kewajaran dengan wajah seni yang sesunguhnya.

Dan di sinilah akhirnya aku menemukan jalan menuju seniman sejati melebihi seniman yang melukis wajahmu, inilah kekurangan dari karya seniku yang berbahan cemburu yang aku kirim ke negeri seni, yang sekarang telah hilang dan lenyap, itulah bahanya aku sudah menemukanya harus segera aku simpan dalam dokumen catatan seni sepaya aku bisa merombak ulang dan memperbaikinya agar seniku ini menjadi karya seni yang benar-benar seni, yang mengetarkan dan menegelamkan siapa saja yang ingin membelinya, dan bahkan pada semarak lelang seni, para seniman-seniman kaya akan berebutan menawarkan harga mahal untuk seniku dan tentu seniman yang melukis wajahmu itu akan segera menawarkan supaya karya seniku ditukar dengan lukisan wajahmu bahkan kamu yang asli.

Sekarang aku harus melanjutkan perjalananku mencari karya seniku yang hilang di negeri seni dengan penuh semagat  dan senyum yang permanen sambil bernyanyi riang dan menyapa siapa saja yang ku jumpai. Ya aku seperti remaja yang sedang jatuh cinta lagi.

Toriq fahmi
Surabaya 270313.04:18AM 

Senin, 25 Maret 2013

Perempuan Hujan



Kemarin sore ku tatap wajahmu di balik hujan yang menawarkan kerinduan pada kekasihnya, ia menaruh harapan bertemu tanahnya dan ingin membuat genagan tempat bermain anak-anak kodok, tempat persengamaan nyamuk yang melahirkan jentik-jentik hitam kepalsuan, kepalsuan tawa, senyuaman atau bahagia yang ditawarkan pada rumput-rumput yang menghisapnya mesrah.

Wajahnya memantul dalam genangan , bergelombang saat kaki-kaki hujan melangkah tanpa jalan, semakin cepat langkahnya semakin mennyisakan jejak genagannya di tanah, di mana-mana ada genagan, apalagi di jalanmu bekas jejakmu yang kau lintasi setiap pagi saat kau berangkat sekolah, semakin banyak genagan semakin banyak pula wajahmu, wajahmu ada di mana-manan, di bawah hujan, di atas hujan, di sisi hujan, di tengah-tengah hujan dan bahkan di wajah hujan itu sendiri, wajahmu hadir seperti hujan adalah kamu sendiri.

Wajahmu, wajahmu, wajahmu adalah milik hujan, di sukai hujan, di cintai hujan, di gauli oleh hujan, hujan sangat senag denganmu, hujan bahagia, hujan tertawa, tersedu penuh haru,menagis dengn lugu, semaikin hujan semakin banyak genagan. Genagan penuh wajahmu membuat hujan semakin hujan, deras menciummu seperti ribuan tahun tak jumpa.

hujan semaikin hujan menyisakan genagan penuh wajahmu, wajahmu di mana-mana seperti hujan di mana-mana yang membuat genagan di mana-mana, di mana-mana ada genagan, rumahku penuh genagan sengaja ku biarkan hujan bertamu, agar aku bisa menikmati wajahmu dari genagan hujan.

Hujan semakin hujan membuat genagan, huajan semakin hujan  tak lagi menyisakan jejak genagan tempat bermain anak-anak kodok, tempat persengamaan nyamuk yang melahirkan jentik-jentik hitam kepalsuan, hujan semakin hujan membuat genagan semakin mengenag, menegelamkan negerimu, menegelamkan kotamu  dan segera menegelamkan rumahmu. tengelam semuanya dalam genagan hujan yang kini sudah menegelamkan tubuhmu dengan kenyataan hujan yang benar-benar hujan, bukan lagi sebagai bayangan wajahmu, tapi ini benar-benar kamu yang tengalam dan sekarang kenyataan telah memilih hujan untuk memilikimu dengan sempurna.

Hujan, hujan, hujan, hujan tak akan pernah meredah sampai hujan sendiri tengalam dalam genagan hujan. Hujan yang benar-benar nyata tapi entah hujan yang menegelamkan genagan hujan itu hujan milik siapa.

Toriq fahmi
Surabaya. 260313