Ia melukis untukmu dengan cara hati yang benar-benar serius,
meniggalkan masa kecilnya yang usang dan menciptakan mimpinya dengan cara yang
sunguh-sunguh sampai pada waktu yang menjemputnya untuk hidup penuh istimewa,
membuat waktu sendiri dimana hidupnya adalah seni, seni yang mengantarkan pada
dunia bermata mahal, sebagai kehidupan baru yang lebih dewasa dan benar-benar
bisa dikatakan kehidupan yang sesungguhnya, ia mengatur jiwanya dengan cara
seni yang sudah matang dan terjual, semuanya untukmu bahan seni yang nyata
baginya.
Bermula dari seni, ia kirimkan seni untukmu, seni paling
mulus yang menjual jiwanya untukmu, menjatuhkan purnama-purnama yang telah
using baginya, menjumpaimu dengan cara seni, mendekatimu dengan cara seni,
bembuat cinta untukmu dengan cara seni, menyentuh dan menciummu dengan cara
seni yang paling mahal dan takkan pernah terjual, kau terjatuh dengan kesenian
menjemputnya dengan cara seni pula walau masih tertatih menerjemahkanya, ikut
tertawan dan menyediakan tempat untuk melukis dalam jiwamu, menghidupimu dengan
jaji seni yang paling agung, kau telah bahagia dengan cara seni, seni yang
indah, seni yang menawan, seni yang massaallah dan seni yang telah merubahmu
begitu cantik sebab dia telah ribuan kali melukismu di lagit-langit, di dinding
kamarnya di setiap jemarinya yang pandai mengores wajahmu sudah bertatokan
namamu pula, mau apalagi bahkan pada setiap hidupnya sudah penuh oleh lukisan
wajahmu. Diam-diam telah ku tawar lukisan itu dengan harga seniku yang paling
mahal tapi tetap saja tak mampu ku belinya dan seniku masih terkesan murahan
dan taklaku baginya sebab ia tau seniku takkan mampu menghidupimu dengan cara
seni seperti seni miliknya, sebab itulah
kau begitu cantik baginya apalagi untukku.
Ini seniku mengambarkan kecemburuan pada sang pemilik seni
sejati karena sudah mampu menciptakan seni paling mahal dalam hidupnya itulah
kamu, bagai mana aku akan bicara tentang kamu sedang seni-seniku masih dikonsumsi
dengan cara gratis, berserak dimana-mana seperti surat cinta yang tak pernah
sampai pada kekasihnya, bahan lelucon bagi pemilik seni sejati, sepertinya ini
seniku, seni yang paling murah yang tak laku di pasaran, siapa yang akan
membelinya, aku menuggu 24 jam lamanya tak ada yang mendatanginya bahkan
meliriknya saja tidak, akhirnya terpaksa aku obral 500 rupiah dapat tiga,
sesekali seseorang melirik tapi terus berlalu dan pada waktu yang sudah begitu
larut seorang wanita datang membelinya dengan harga 500 rupiah itupun masih
menawar untuk mendapat bonus 1, katanya untuk oleh-oleh anaknya, ya terpaksa
aku memberinya sebab sudah 3 hari seniku tak laku-laku. begitu murahnya seniku
ini tentu saja takakan ada harganya jika harus membeli lukisan wajahmu yang
dilukisnya.
Aku mencoba cara baru supaya seniku patut untuk ditukar oleh
seni miliknya yang bertemakan kamu, dengan cara cemburu yang paling menyiksaku,
aku buat seni ini dengan hururuf-huruf seperti tetesan gerimis yang romantis,
setiap katanya mencoba menerjemahkan betapa sendunya lagit sebab sudah sekian
waktu hanya bisa memandang wajah tanah tanpa bisa menyentuh apalagi mencium
keningnya, aku rasakan berlahan, mengoreskan seni dengan cara paling susah yang
pernah aku buat sebelumnya, perlahat otakku mulai berantakan, mana yang harus
aku sambungkan antara warna merah dan putih, kuning dan hitam supaya berpadu
dan melahirkan keindahan bagi siapa saja, otakku semakin kacau saat merangkai
bunyi mana yang pas untuk lirik yang halus dan keras, sesekali aku merenug
membayangkan betapa mahalnya seniku ini jika sudah mampu ditukar oleh lukisan
wajahmu walau hanya dengan lukisan siluet wajahmu yang bagiku itu lukisan
paling jelek yang pernah ia buat untukmu, aku tersenyum betapa bahagianya aku
memeluk lukisan siluit wajahmu, betapa gahagianya aku saat lukisan siluet
wajahmu itu menempel di dinding kamarku, aku bisa mandangnya sebelum tidur yang
biyasanya aku tak pernah bersemangat untuk tidur karena masih tekun dengan
seniku yang tak laku-laku.
Seniku dengan rasa paling cemburu yang pernah aku miliki,
masih tercecer di meja warung kopi yang tak pernah tidur, seniku masih belum
usai dalam peroses penyaringan supaya terasa halus dan lembut, seniku masih
mencari jasat kapan akan bersatu, seniku masih mencari rumah kapan akan
diantarkanya pulang. Aku sudah gila setengah mati walau seniku ini belum
selesai ku bikin, apa lagi yang harus kumasukkan ke dalam seniku ini, apa
darahku sendiri harus ikut serta mewarnai, apa aku sendiri yang harus masuk
dalam seni karyaku ini supaya terlihat hidup, jika dengan hal itu mampu menarik
harga jual yang tinggi dan mampu ditukar dengan lukisan wajahmu tentu saja aku tak
mau sebab bagaimana aku akan memiliki lukisan wajahmu jika aku sendiri telah
masuk dalam karya seniku, tidak mungkin dan memang tidak boleh sebab ini seni
tuhan yang sepandai-pandai ia dalam berseni takkan mampu menciptakan kenyataan
seni seperti tubuhku ini.
Seniku telah jadi, yang terbuat dari bahan cemburu paling
menyedihkan yang pernah ada, ini aku kirim lewat email untuk di lelang di
negeri seni tempat seniman bertahan hidup dan kaya termasuk seniman yang telah
melukis wajahmu dengan sempurna, aku tunggu konfirmasi beberapa hari ini tapi
tak kunjung datang sampai kemanapun aku
menjumpai aktivitas yang padat seperti biyasa, HPku tak pernah lepas dari
gengaman berharap ada kabar tentang seniku yang sudah aku kirim tiga hari yang lalu, aku tak
akan tidur sebelum nasib seniku berkabar, apa sudah terjual atau masih
terdampar tak berguna seperti sampah di pantai negeri seni. Aku sangat kawatir
bagaimana nasib seniku yang sudah aku sisipkan separuh hidupku padanya supaya
terlihat hidup dan mampu memangil siapa saja yang lewat. Malam-malam satu
persatu telah usai dengan rasa gelap dan pahit seperti kopi yang bersahaja menahan
mataku supaya tetap tegar, namun belum ada kabar tentang seniku.
Senin hari aku termenug sendiri, masih menuggu kabar tentang
seniku yang ku buat dengan bahan cemburu
yang sudah ku sisipkan separuh jiwaku di sana supaya nampak hidup dan bisa
memangil siapa saja yang lewat.
Selasa sore aku mencoba menerjemahkan lagi apa ada arti yang
salah dalam seni yang kubuat dengan bahan cemburu yang aku kirim ke negeri
senja, tidak ada yang kurang, semunya sempurna sama persis seperti yang ku
inginkan.
Rabo dini hari, aku jatuh sakit terkolek lemah di kasur
kamarku yang penuh gambar pulau karena rasa asin dari peluhku, mungkin ini efek
dari kekawatirkanku pada seniku yang aku kirim ke negeri seni beberapa minggu
yang lalu tapi belum menemukan kejelasan.
Kamis waktu senja, aku berkelana menikmati suasana
romantisnya langit pada bumi, laut dan pepohonan, sambil membayangkan andai
seniku sama seperti senja itu pasti sangat mahal dan mampu ditukar dengan
lukisan wajahmu bahkan denganmu yang asli.
Jum’at seusai khotbah, aku berdo’a supaya seniku bisa
kembali dengan selamat walau tak ada yang berminat membelinya biarkan saja aku
sendiri yang menikmati karya seniku ini yang sudah aku sisipkan seperuh jiwaku.
Saptu malam hujan sangat lebat, aku berdiam diri mendekam di
kasur yang sudah bersih, sambil mendengarkan lagi-lagu hujan yang membuat aku
teringat pada seniku yang aku kirim ke negeri senja, kasiahan sekali seniku
memangil-magil namaku ingin pulang.
Minggu saat semua rumah sepi ditinggal tuanya pergi, aku
masih sama mendekap guling dan merasakan semua begitu senyap serasa semunya
mati sampai aku tertidur dan bermimpi bertemu seniku di alam lain yang begitu
gelap tapi seniku bemberi cahaya seperti kilatan petir yang membuat aku
terbangun. Aku bergetar ketakutan apa yang terjadi apa seniku terbuang di
negeri seni dan tidak diakui sebagai karya seni atau apa sudah berjumpa dengan
pembelinya dengan bayaran murah yang hanya cukup untuk membayar uang pajak
pemasangan iklanya di media-media. Jujur aku sangat takut kemana kamu pergi
seniku yang ku buat dengan bahan cemburu
yang menghabiskan air sumber dari endapan luka yang sudah lima tahun aku
rawat dengan sengaja supaya aku bisa melahirkan seni paling mengetarkan esok
hari nanti. Aku bingung setengah mati dan hari ini aku putuskan untuk
menjemputmu ke negeri seni dan berjanji akan menemukanmu lagi dan merombaknya
ulang penuh penghayatan dan pemikiran supaya tidak disepelekan lagi.
Aku berangkat sore kearah senja yang memang di sanalah
negeri seni bersemayam, dengan do’a supaya tidak terjadi hujan sebab jika hujan
datang tentu aku akan kehilangan arah
dan tersesat. Jika malam tiba arah menuju negeri senja adalah seperti
bintang berbentuk cancer, aku lalui malam dengan pikiranku yang tak pernah
lepas bagai mana nasib seniku yang berbahan cemburu itu, apa dia sedang sakit
atau jangan-jangan sudah mati, Tidak mungkin sebab jika ia mati tentu aku akan
merasa separuh hidupku juga mati sebab separuh jiwaku sudah aku sisipkan pada
seniku. “Ah sudahlah” aku menepis kekawatiranku dan mencoba berfikir nolmal
seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku bertemu pagi di petigaan mentari yang cahayang adalah
kesejukan bagi semua pejalan, aku putuskan untuk beristirahat sejenak di bawah
pohon berigin yang sudah mulai menua karena daunya sangat jarang, aku menikmati
belaian embut yang bersenandung dengan rumput yang menyayikan lagu selamat pagi
yang tak pernah bosan di dengar para petani yang menyandang cangkul ke sawah
dan gadis-gadis sma yang begitu bersemangat menuggu kekasihnya untuk berangkat
ke sekolah, aku terbawa suasana sampai aku hanyut pada masaku dulu pada masa
aku masih sebagai laki-laki lugu dan manis yang belum tau membuat seni dan
berjuang hidup untuk seni, sebab pada waktu itu tanpa seni aku sudah bisa menikmatimu
dengan nyata, bukan dengan lukisan apalagi siluet lukisan wajahmu. Aku benar-benar
memilikimu, merangkulmu, menciummu, menikmuati aroma nafasmu, keringatmu dengan
nyata dan begitu terang tanpa harus menciptakan seni yang harus terjual
terlebih dahulu.
Betapa bahagiyanya aku waktu itu,ah sudahlah itu adalah tisu
kumal seperti bekas hujan yang menyisakan genagan. Ya itu adalah rangkuman pelajaran,
aku semakin resah dan tak karuan seperti orang gila yang berbicara sendiri dan
pada waktu yang sama aku di sadarkan oleh
lubang besar di tubuh pohon beringin tua aku memandangnya menelusuri lubangnya
dan meronggohnya aku kaget ketika taganku menyentuh benda halus berbulu yang
rasanya sangat dingin tapi serasa nyaman sekali, apa ini.? Aku mengambilnya dan
mengeluarkanya dari lubang besar itu, mataku terbelalak tak percaya inilah yang
aku cari selama ini aku memandang tak percaya apa yang sudah aku pegang ini
bahan seni yang di wasiatkan nenek moyang seni terdahulu. Ya inilah bahanya,
permata seni yang sesunguhnya sebuah Sejarah dan Kenagan yang harus di bawa
pada karya seni yang akan datang yang akan menciptakan kehidupanku pada
kewajaran dengan wajah seni yang sesunguhnya.
Dan di sinilah akhirnya aku menemukan jalan menuju seniman
sejati melebihi seniman yang melukis wajahmu, inilah kekurangan dari karya
seniku yang berbahan cemburu yang aku kirim ke negeri seni, yang sekarang telah
hilang dan lenyap, itulah bahanya aku sudah menemukanya harus segera aku simpan
dalam dokumen catatan seni sepaya aku bisa merombak ulang dan memperbaikinya agar
seniku ini menjadi karya seni yang benar-benar seni, yang mengetarkan dan
menegelamkan siapa saja yang ingin membelinya, dan bahkan pada semarak lelang seni,
para seniman-seniman kaya akan berebutan menawarkan harga mahal untuk seniku
dan tentu seniman yang melukis wajahmu itu akan segera menawarkan supaya karya
seniku ditukar dengan lukisan wajahmu bahkan kamu yang asli.
Sekarang aku harus melanjutkan perjalananku mencari karya
seniku yang hilang di negeri seni dengan penuh semagat dan senyum yang permanen sambil bernyanyi
riang dan menyapa siapa saja yang ku jumpai. Ya aku seperti remaja yang sedang
jatuh cinta lagi.
Toriq fahmi
Surabaya 270313.04:18AM