Rabu, 06 Februari 2013

SEBUAH MATA
















Pagi itu aku bertunagan dengan cerah walau di balik awan ini hujanku semakin deras, bagaimana caranya kau mengambil hatiku hari itu, aku rasa kau bukan hanya sekedar gila, tapi entahlah kegilaanku pada hujan, awan, langit kau renggut dengan luar biasa. Sepenuhnya aku lupa bagaimana warna mendung, derasnya hujan pada malam-malam ku, aku  benar-benar lupa. Yang lebih aneh senyumku jadi permanen, lebih tepatnya aku mulai gila yang arogan.

Biarkan aku bercerita tentang pagi yang memintaku tak perlu mandi, gosok gigi dan memakai sepatu. Pagi itu bersama matamu rasanya aku sudah mandi sebab aku berenang di sana, menyelam membuat waktu sendiri di mana aku harus mencari namamu lewat matamu, pada dasar matamu aku menemukan secarik kertas, kertas itu bicara padaku  “laki-laki bodoh, datang tak diundang ”.

Blub-blub-blub-blub, aku tengelam “tolong..tolong..tolong” tak ada siapapun , tenagaku tiba-tiba habis rasanya kaki dan tanganku lumpuh tapi anehnya aku malah tersenyum minta tolong, bayangkan saja seperti apa aku waktu itu, begitu bahagia dengan waktuku yang sekarat, biarkan saja aku mati di dasar matamu. Tapi aku tau kau takkan membiarkan aku mati di matamu, bukankah waktu kita masih panjang untuk saling mengenal, ya.. kau juga belum mengenalku, aku rasa kau juga tengelam di mataku beberapa detik, tapi rupanya kau sudah siapkan pelampungnya. Aku gagal menegelamkanmu, aku kalah sebab ombak di matamu lebih kuat.

Hai, hari sudah sore aku berhasil selamat dari matamu, sekarang waktunya aku berlayar kembali, tapi sayangnya langit masih seperti matamu dan akan segera menerbangkanku, aku berpengangan erat pada tiang layar, sore ini badai, hujanya sangat kencang, aku kedinginan berselimut layar tak ada siapapun di tengah lautan ini hanya ada aku dan matamu. Biarkan saja aku tengelam lalu aku terbang, aku cukup bahagia sebab dengan ini aku tahu caranya menghapuskan mata yang sekian tahun memperhatikanku walau akhirnya mata itu yang mencoba membunuhku. Trimakasih untuk matamu, maka izinkan hari ini aku memangilmu “sayang”, karena kau tak pernah tau seberapa dalam aku tengelam di matamu.

Hai sayang, seberapa bodohnya aku ini, tertawalah ketika amplop isi mataku ini sampai di tanganmu, aku pasrah saja mau kau apakan, jika kau berkenan izikan jika mataku ini menjadi matamu, memandang hujan, malam, langit, bintang, awan atau apa saja yang membantumu tersenyum, asalkan jangan kau taruh mataku ini di dinding kamarmu atau di jendela kamar mandi sebab aku takut jika harus melihatmu berganti pakaian dan mandi, kau pasti malu dan marah padaku, sudahlah tak perlu bicarakan itu yang jelas aku titipkan mataku pada mu, semoga kau bisa menjaganya seperti matamu yang membahagiakanku.

Sekarang sudah malam, aku selamat sampai di dermaga tanpa mata,  rasanya benar-benar terang walau telingaku masih mendengar suara hujan dan petir. Benar tanpa mata kebahagiaanku lebih terang dan esok jika aku masih kurang senang maka izinkanlah aku kirimkan lidahku untukmu agar aku bisu, sebab dalam kebisuan perasaanku akan lebih tulus tanpa menyakiti siapapun. Sekarang aku mulai berjalan lagi menyusuri tebing-tebing batu dengan tongkatku yang aku ambil dari batang pohon bakau, sesekali aku merangkak dan lututku pasti bercucuran darah, tak perlu kauwatir sebab aku sudah tak merasakan sakit lagi semunya terlalu indah dan bahagia.

Pada malam itu aku sampai di suatu negeri, aku tak bisa melihatnya tapi aku bisa merasakan hawa ini dan suasana keramaian ini, ya..aku tau ini pasti negeri tempat aku di lahirkan dulu. aku melewati kerumunan orang-orang yang sedang berpesta riang. Ya.. aku tau mereka sedang menyambutku “dia telah kembali..dia telah kembali”. Aku tersenyum dan menjabat tangan mereka satu persatu, sesekali aku dengar suara lirih bocah-bocah yang berlari kecil mendekati sesuatu “ayah apakah dia musa yang ayah ceritakan dulu”, aku rasa ayahnya hanya tersenyum menjawabnya. Dan pada jabatan tangan terakhir aku bisa merasakan tangan yang masih sama seperti dulu, “itu pasti ibuku”, dan tangan yang kasar ini “inilah ayahku”. Aku dengar bisikan ibuku “kemana matamu nak”. Aku memeluknya erat dan menjawab lirih “menjaga langit bu”. Ayah dan ibuku tersenyum dan mencium keningku.

Toriq Fahmi
010213



MATA YANG HILANG



Jumpai aku pada hari berikutnya, di mana saja kau menyukainya, kebetulan aku mempunyai taman yang aku bangun sendiri ketika aku menemukan kupu-kupu bernama kamu, penuh dengan bunga yang terbuat dari kelopak matamu, rumputnya halus yang mungkin mirip rambutmu, pada setiap pekaranganya aku tanam pohon mahoni yang aku ambil dari lentik alis matamu dan berjejer lampu berwarna senja, jika sudah malam akan terlihat seperti senyumanmu. Aku suka menghabiskan waktu sendiri di taman itu, memandang langit dengan awan yang mengumpal membentuk wajahmu, bulannya yang ku pasang memang tidak begitu cerah tapi aku menyukainya sebab aku selalu ingat bulan itu adalah milik kita. “Kita” ya kita walau tanpa persetujuanmu dan kau tak mungkin tahu kapan kau memberikan bulan itu padaku, cukup aku saja yang tahu dan bagiku itu adalah kita, biarkan saja aku terlalu Percaya Diri tak perlu kau hiraukan, dan aku selalu tersenyum melihat bulan itu, bulan waktu kita bertemu, bulan yang penuh matamu, bulan yang hampir membunuhku.

Aku mengundangmu untuk datang di taman ini, sudah ku persiapkan bangku panjang bercat putih di bawah pohon “Dieffenbaccia atau daun bahagia” yang ditanam ibuku, aku ingin memandang langit bersamamu. Ketika sore datang akan aku tujukkan lukisan awan itu padamu yang aku lukis sendiri pada tangal 31 januari, “indah ya..? seperti nama mu”. Kita akan sama-sama menuggu senja, dia pasti iri padamu sebab wajahmu lebih indah darinya, setelah itu kita akan tertawa bersama memandang wajahnya yang kacau dan kalut itu, pasti lucu. Dan pada malam yang datang kita masih akan tetap di sini, akan ku tunjukkan lagi keindahan yang sebenarnya, lewat rasi bintang itu, bulan dan langit malam yang sedikit kemerahan dan pada setiap meteor yang jatuh, kita akan sama-sama menutup mata dan berdo’a tentang impian kita masing-masing hingga pada malam yang semakin larut kau juga akan larut bersama angin, lalu kita akan sama-sama membisu dan pada dinding matamu itu akan ku titipkan sajak.
"Mata ini menitihkan maaf dengan ribuan doa yang ditulis di tanah"
Aku telah menyukai semuanya dari hidupmu walau awalnya memang dari mata  yang aku anggap sebagai radar istimewa penakluk mahluk gila bernama aku. Bagaimana caramu berbicara lewat tulisan malam itu, walau sebenarnya aku belum tau bagaimana suaramu, merdu atau tidak sudah tidak penting lagi yang pasti aku sangat senang dengan caramu menghargai orang lain dan kesederhanaan yang kau katakan padaku aku percaya walau baru sejengkal mengenalmu. “Aneh bukan?” rasanya aku sudah benar-benar gila, maaf jika fotomu aku pajang di layar media kerjaku tanpa seizinmu, matamu itu yang selalu membangunkanku di waktu pagi dari sini aku merasa kau bukan orang asing lagi. Tolong jangan kau tanyakan apa alasanku menyukaimu, sebab itu sama saja denagan kau memintaku untuk menujukkan bentuk atau warna dari udara.

Waktu, aku selalu percaya pada waktu, sampailah pada waktu yang sekarang, hidup pada bayangan, foto yang aku curi di dinding rumahmu dan lagi-lagi mata itu yang sudah aku duplikatkan pada tukang mata di surga, biarkan saja aku memasang duplikat matamu sebagai lampu atau apa saja yang biasa meneragi jalanku pada kesendirian, ya aku puas bisa mengenalmu, menatap matamu, walau tak sekalipun kau tersenyum padaku. Aku sangat puas mengenal namamu yang sama seperti matamu, hidungmu, pipimu, bibirmu, alismu dan semua wajahmu yang terbalut jilbab rapi, membaca tulisanmu aku akan tersenyum beberapa jam lamanya, berguling-giling atau berjingkrak seperti anak-anak yang mendapatkan hadiah ulang tahun dari ibunya. Benar katamu sangat konyol maka jangan kau paksa aku untuk menghentikan kekonyolan ini, sebab akupun tak pernah tau kenapa aku bisa sekonyol ini tapi aku bahagia.

Begini saja, ini yang terakhir kali aku menatap matamu dengan berpura-pura membaca buku, aku sangat malu padamu, seperti pertemuan kita di siang itu, aku sudah berniat ingin menatap matamu lebih dalam dan memberikan senyuman termanisku untuk kamu, tapi nyatanya wajahku lebih dahulu memerah, aku gagal tengelam di matamu dan kau segera berpaling mencari pembicaraan yang lain. Huh..jantungku berdegub tiga kali lebih cepat dari biyasanya, sangat malu jika waktu itu kau angap aku menggangu ketenaganmu, mau ku apakan wajahku di hadapan sajak-sajak yang ku buat setiap malam. “Mau aku apakan?”, membuangnya ke tong sampah, ya…. itu yang paling tepat dan kau ku pastikan takkan terusik lagi. 

Sampai akhirnya kau benar-benar marah padaku, aku bingung setengah mati. Sampai akhirnya aku tahu siapa pemilik matamu yang sebenarnya, rasanya aku hanya sebagai tulisan sejarah kuno yang akan di bakar oleh arkeolog atau al khamis yang telah kehilangan kembalaanya. Waktuku sedah habis maka izinkan jika matamu yang membunuhku, dengan begitu kematian ku akan tanag dan tersenyum.


Toriq Fahmi
Surabaya. 040213

Ilustrasi : Zainun Nasih