عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Ibu, sebuah nama yang
sakral dan memiliki ruang tersendiri dalam bentuk cinta,
kasih dan sayang. Semua
akan merangkap menjadi suatu ungakapan rasa yang tak pernah dimengerti manusia. Kedudukannya mengalahkan apapun di dunia ini bahkan Tuhan pun berserah pada seorang ibu. “Surga ada di telapak kaki ibu”. Ya, Tuhan menyerahkan surga pada seorang ibu.
Itu berarti ibu memiliki bentuk ketuhanan tersendiri dalam
perasaan manusia.
Apakah ibu berhak mendapatkan cinta seperti cinta seseorang kepada kekasihnya atau mendapatkan cinta layaknya cinta kepada Tuhan? Tidak. Karena perasaan itulah disebut sebagai sumber dari segala perasaan. Ketika aku mencintai ibu maka aku akan mencintai Tuhan. Ketika aku mencintai ibu maka aku mencintai wanita atau laki-laki, semuanya terlahir dari situ karena tuhan telah menaruh jari-jarinya pada wanita yang bernama ibu.
Sebuah
pertanyaan besar akan datang ketika berbicara tentang cinta ibu, tak perlu
susah payah menjawab pertanyaan “apa yang sudah kau perbuat terhadap ibumu?”
karna sampai kapanpun seorang anak tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap
ibunya, semua tidak akan pernah terbalaskan. tetapi yang perlu dipertanyakan
adalah “seberapa besar perasaanmu pada ibumu?”,hatilah yang akan berbicara dalam bahasanya dengan berbagai macam bentuk entah
itu puisi, lukisan, bingkisan atau hal-hal yang mengesankan yang membuat sosok
ibu akan tertegun dengan tetes airmata haru dan bangga.
Begitu
juga yang dirasakan oleh setiap penyair yang memiliki kedalam jiwa terhadap hal
apapun yang dilihatnya bahkan benda mati sekalipun, karena itu puisi adalah
kejujuran dan kebenaran sebuah perasaan. Benar kata Plato, “puisi lebih mendekati kebenaran dibandingakan dengan
sejarah”. Karena itu kekuatan puisi itu tergantung pada kedalam perasaan
seorang penyair kepada objek yang dituju, seperti halnya Zawawi Imron sebelum membacakan karyanya yang berjudul “Ibu” dia sempat mengatakan “jika saya membaca puisi ini
tidak bagus maka saya adalah zawawi tetapi jika saya membaca puisi dengan bagus maka saya adalah anak ibu”. Di sinilah ketentuannya, kekuatan dan ketajaman dari puisi yang ditulis
tergantung pada kedalaman perasaan yang dirasakan penyair terhadap ibunya.
Menulis
puisi telah lama menjadi termometer cinta, kasih dan sayang bagi setiap
penyair, jika penyair menuliskan puisi ibu maka perasaan terhadap ibunya akan
dikuras habis, jika puisi yang ditulis terkesan monoton berarti begitulah
perasaannya terhadap ibunya begitu juga sebaliknya. Maka permainkan perasaan
dengan sehalus mungkin, ungkapkan rasa cinta itu ke
dalam jiwa baru yang akan membangkitkan gairah dalam
sebuah kehidupan penuh cinta seorang ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar