Senin, 18 Maret 2013

Seberapa Besar Perasaanmu Pada Ibumu?

Oleh : Toriq Fahmi


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Ibu, sebuah nama yang sakral dan memiliki ruang tersendiri dalam bentuk cinta, kasih dan sayang. Semua akan merangkap menjadi suatu ungakapan rasa yang tak pernah dimengerti manusia. Kedudukannya mengalahkan apapun di dunia ini bahkan Tuhan pun berserah pada seorang ibu.Surga ada di telapak kaki ibu”. Ya, Tuhan menyerahkan surga pada seorang ibu. Itu berarti ibu memiliki bentuk ketuhanan tersendiri dalam perasaan manusia.

Apakah ibu berhak mendapatkan cinta seperti cinta seseorang kepada kekasihnya atau mendapatkan cinta layaknya cinta kepada Tuhan? Tidak. Karena perasaan itulah disebut sebagai sumber dari segala perasaan. Ketika aku mencintai ibu maka aku akan mencintai Tuhan. Ketika aku mencintai ibu maka aku mencintai wanita atau laki-laki, semuanya terlahir dari situ karena tuhan telah menaruh jari-jarinya pada wanita yang bernama ibu.

Sebuah pertanyaan besar akan datang ketika berbicara tentang cinta ibu, tak perlu susah payah menjawab pertanyaan “apa yang sudah kau perbuat terhadap ibumu?” karna sampai kapanpun seorang anak tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap ibunya, semua tidak akan pernah terbalaskan. tetapi yang perlu dipertanyakan adalah “seberapa besar perasaanmu pada ibumu?”,hatilah yang akan berbicara dalam bahasanya dengan berbagai macam bentuk entah itu puisi, lukisan, bingkisan atau hal-hal yang mengesankan yang membuat sosok ibu akan tertegun dengan tetes airmata haru dan bangga.

Begitu juga yang dirasakan oleh setiap penyair yang memiliki kedalam jiwa terhadap hal apapun yang dilihatnya bahkan benda mati sekalipun, karena itu puisi adalah kejujuran dan kebenaran sebuah perasaan. Benar kata Plato, “puisi lebih mendekati kebenaran dibandingakan dengan sejarah”. Karena itu kekuatan puisi itu tergantung pada kedalam perasaan seorang penyair kepada objek yang dituju, seperti halnya Zawawi Imron sebelum membacakan karyanya yang berjudul “Ibu” dia sempat mengatakan “jika saya membaca puisi ini tidak bagus maka saya adalah zawawi tetapi jika saya membaca puisi dengan bagus maka saya adalah anak ibu”. Di sinilah ketentuannya, kekuatan dan ketajaman dari puisi yang ditulis tergantung pada kedalaman perasaan yang dirasakan penyair terhadap ibunya.

Menulis puisi telah lama menjadi termometer cinta, kasih dan sayang bagi setiap penyair, jika penyair menuliskan puisi ibu maka perasaan terhadap ibunya akan dikuras habis, jika puisi yang ditulis terkesan monoton berarti begitulah perasaannya terhadap ibunya begitu juga sebaliknya. Maka permainkan perasaan dengan sehalus mungkin, ungkapkan rasa cinta itu ke dalam jiwa baru yang akan membangkitkan gairah dalam sebuah kehidupan penuh cinta seorang ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar