Rabu, 09 Mei 2012

SAJAK 1/3 PERJALANAN



1/KRETA TUA
Jerit kereta tua menelan tubuh rel yang telah renta
Awaknya menyimpan perjalanan puluhan tahun lamanya
Warnanya yang telah usang ramah menyapa tanah
Kreta tua itu masih berlari membawa impian di masa yang akan datang

2/PEDAGANG ASONG
“Kehidupan dalam gerbong yang melaju secepat kereta itu meluncur, memeras wajah-wajah tua akan senandung kehidupan hari berikutnya, tak kenal waktu terang atau petang ia terus berlari mengikuti laju kreta yang kian lelah, waktunya habis dimakan suara-suara miris menjajakan makanannya. Terbeli dan tidak adalah nasib yang harus ditumpu di atas telapak tanganya”

Begitulah sajakku mengalir tentang mereka, mencoba sesayu mungkin tapi kesayuanya masih saja terutup rasa angkuh yang aku dirikan di atas sandal gunung seharga 40ribuan. aku menatap lekat pada lekuk otot kriput tangan dan wajahnya, lesu dan sayu membuatku bergidik ingin memberi, sedang uang saku pemberian ibuku hanya cukup untuk hidup seminggu, sesekali aku meregoh sakuku ada selembaran 2ribu aku sempatkan membeli tahu dan kebetulan aku lapar waktu itu.

“Miris melihat nenek tua dan laki-laki bisu menawarkan jualanya, sayang aku tak bisa berbuat banyak ketika aku meneggok dompetku yang isinya hanya 10rbu”

Lalu-lalang para pengasong terus menghujamiku dengan sajak-sajak pilu, aku terdiam; lalu aku lempar sajak-sajak itu keluar dari jendela gerbong seolah angin yang berhembus masuk mengiyakan perbuatanku hingga tak seberapa lama ia berhasil menidurkanku dan menarikku kedalam mimpi; mimpi tentang laba-laba yang menganyam rumahnya dengan teliti dan rapi sembari bekerja ia mengagetkanku dengan suara tua tertatih:

“akupun mampu membayangkan sajak yang kau tumpahkan meloncati jendela gerbong menganga meriuhkan atap sebab angin berhembus lancang. Mungkin akupun akan lebih pilu bila Tuhan pada waktu itu mengizinkan aku 'tuk menemui menjadi saksi dari cerita sajak yang kau lempar tadi”

3/JALANAN
Perjalananku tidak begitu panjang hanya melewati daratan dan lautan tapi lekuk jalanan cukup untuk mengocok-ngocok perutku. Aku mual di atas kendaraan yang membawaku ketepian , namun sejuta keajaiban menarikku pada dunia baru yang belum pernah aku temui sebelumnya.

sajakku mengalir deras:

Di selembar daun aku kabarkan  tentang  tanah dan air yang aku lihat sejak hari masih dini, Yang dimana tubuhnya terguyur  oleh ombak di pesisir-pesisir pasir dan tebing , Ia menari di cela-cela cahaya yang hampir meredup, mendendangkan nyayian di waktu subuh dan senja
Aku ingin bercerita , kepada siapa saja tentang negeri yang aku jejaki hingga di penghujung malam nanti. Aku ingin tungkan semuanya, kepada siapa saja “ini ada secangkir nirwana”
Namun tak ada siapa-siapa, hanya ada pohon, jalan, batu, tanah, air, tebing , gunung dan bangunan tua.

Aku sajikan pertanyaan:

1/ Aku bertanya pada senja yang hampir terkikis “akankah semua sirna?”
Pertanyaanku melengkung di sela-sela reranting pohon tua yang kering
Aku menganguk walau semu.

2/ Aku bertanya pada fajar yang mulai menyingsing di ufuk timur “apakah semua akan binasa?”
Pertanyaanku lurus membentur dinding rumah tua peninggalan belanda
Aku menganguk dalam bisu.


Toriq Fahmi
surabaya, jakarta, bengkulu. 5,4,6.05.12





Tidak ada komentar:

Posting Komentar