1/KRETA
TUA
Jerit kereta tua menelan tubuh rel yang
telah renta
Awaknya menyimpan perjalanan puluhan
tahun lamanya
Warnanya yang telah usang ramah menyapa
tanah
Kreta tua itu masih berlari membawa
impian di masa yang akan datang
2/PEDAGANG
ASONG
“Kehidupan dalam gerbong yang melaju
secepat kereta itu meluncur, memeras wajah-wajah tua akan senandung kehidupan
hari berikutnya, tak kenal waktu terang atau petang ia terus berlari mengikuti
laju kreta yang kian lelah, waktunya habis dimakan suara-suara miris menjajakan
makanannya. Terbeli dan tidak adalah nasib yang harus ditumpu di atas telapak
tanganya”
Begitulah sajakku mengalir tentang mereka,
mencoba sesayu mungkin tapi kesayuanya masih saja terutup rasa angkuh yang aku
dirikan di atas sandal gunung seharga 40ribuan. aku menatap lekat pada lekuk
otot kriput tangan dan wajahnya, lesu dan sayu membuatku bergidik ingin memberi,
sedang uang saku pemberian ibuku hanya cukup untuk hidup seminggu, sesekali aku
meregoh sakuku ada selembaran 2ribu aku sempatkan membeli tahu dan kebetulan
aku lapar waktu itu.
“Miris
melihat nenek tua dan laki-laki bisu menawarkan jualanya, sayang aku tak bisa
berbuat banyak ketika aku meneggok dompetku yang isinya hanya 10rbu”
Lalu-lalang para pengasong terus
menghujamiku dengan sajak-sajak pilu, aku terdiam; lalu aku lempar sajak-sajak
itu keluar dari jendela gerbong seolah angin yang berhembus masuk mengiyakan perbuatanku
hingga tak seberapa lama ia berhasil menidurkanku dan menarikku kedalam mimpi; mimpi
tentang laba-laba yang menganyam rumahnya dengan teliti dan rapi sembari
bekerja ia mengagetkanku dengan suara tua tertatih:
“akupun mampu membayangkan sajak yang kau
tumpahkan meloncati jendela gerbong menganga meriuhkan atap sebab angin
berhembus lancang. Mungkin akupun akan lebih pilu bila Tuhan pada waktu itu
mengizinkan aku 'tuk menemui menjadi saksi dari cerita sajak yang kau lempar
tadi”
3/JALANAN
Perjalananku tidak begitu panjang hanya
melewati daratan dan lautan tapi lekuk jalanan cukup untuk mengocok-ngocok
perutku. Aku mual di atas kendaraan yang membawaku ketepian , namun sejuta
keajaiban menarikku pada dunia baru yang belum pernah aku temui sebelumnya.
sajakku mengalir deras:
Di selembar daun aku kabarkan tentang
tanah dan air yang aku lihat sejak hari masih dini, Yang dimana tubuhnya
terguyur oleh ombak di pesisir-pesisir
pasir dan tebing , Ia menari di cela-cela cahaya yang hampir meredup,
mendendangkan nyayian di waktu subuh dan senja
Aku
ingin bercerita , kepada siapa saja tentang negeri yang aku jejaki hingga di penghujung malam nanti. Aku
ingin tungkan semuanya, kepada siapa saja “ini ada secangkir nirwana”
Namun
tak ada siapa-siapa, hanya ada pohon, jalan, batu, tanah, air, tebing , gunung dan
bangunan tua.
Aku
sajikan pertanyaan:
1/
Aku bertanya pada senja yang hampir terkikis “akankah semua sirna?”
Pertanyaanku
melengkung di sela-sela reranting pohon tua yang kering
Aku
menganguk walau semu.
2/
Aku bertanya pada fajar yang mulai menyingsing di ufuk timur “apakah semua akan
binasa?”
Pertanyaanku
lurus membentur dinding rumah tua peninggalan belanda
Aku
menganguk dalam bisu.
Toriq Fahmi
surabaya, jakarta, bengkulu. 5,4,6.05.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar